
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi menetapkan Gubernur Riau, Abdul Wahid, sebagai tersangka dalam kasus dugaan pemerasan di lingkungan Dinas PUPR. Penetapan ini merupakan hasil pengembangan dari operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan pada Senin (3/11/2025). Dalam operasi tersebut, Abdul Wahid bersama sembilan orang lainnya diamankan dan dibawa ke Gedung Merah Putih KPK untuk pemeriksaan lebih lanjut pada Selasa (4/11/2025).
Kemudian, pada Rabu (5/11/2025), KPK mengumumkan penetapan tiga tersangka, yaitu Abdul Wahid, Kepala Dinas PUPR Riau M Arief Setiawan, dan Tenaga Ahli Gubernur Dani M Nursalam. Mereka disangka melanggar Pasal 12e, 12f, dan/atau 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Modus dan Kronologi Kasus
KPK mengungkap kasus ini bermula dari pertemuan antara Sekretaris Dinas PUPR Riau, Ferry Yunanda, dan enam Kepala UPT Wilayah I–VI pada Mei 2025. Dalam pertemuan tersebut, dibahas adanya pemberian fee sebesar 2,5 persen untuk Abdul Wahid sebagai imbalan atas penambahan anggaran proyek jalan dan jembatan dari Rp 71,6 miliar menjadi Rp 177,4 miliar.
Namun, menurut Wakil Ketua KPK Johanis Tanak, Arief Setiawan yang mewakili Abdul Wahid kemudian meminta peningkatan fee menjadi 5 persen atau sekitar Rp 7 miliar. Permintaan itu wajib dipenuhi, bahkan disertai ancaman pencopotan atau mutasi jabatan bagi pejabat yang menolak. “Di lingkungan Dinas PUPR PKPP Riau, praktik ini dikenal dengan istilah ‘jatah preman’,” ujar Johanis.
Barang Bukti dan Uang yang Diamankan
Dalam OTT tersebut, KPK berhasil mengamankan uang senilai Rp 1,6 miliar dalam tiga mata uang berbeda. Saat penangkapan di Riau, tim menemukan Rp 800 juta dalam bentuk rupiah, sementara dari penggeledahan rumah Abdul Wahid di Jakarta Selatan ditemukan tambahan USD 3.000 dan GBP 9.000 (sekitar Rp 800 juta). Rumah Wahid kemudian disegel oleh tim penyidik.
Aliran Dana “Jatah Preman”
KPK menjelaskan bahwa uang fee diserahkan secara bertahap antara Juni hingga November 2025 dengan rincian sebagai berikut:
• Juni 2025: Uang Rp 1,6 miliar dikumpulkan Ferry Yunanda. Sebesar Rp 1 miliar diserahkan kepada Abdul Wahid melalui Dani M Nursalam, sementara Rp 600 juta diberikan kepada kerabat Arief.
• Agustus 2025: Ferry kembali mengumpulkan Rp 1,2 miliar. Dana tersebut antara lain diberikan kepada sopir Arief Rp 300 juta, kegiatan perangkat daerah Rp 375 juta, dan sisanya disimpan Ferry Rp 300 juta.
• November 2025: Kepala UPT III menyerahkan Rp 1,25 miliar, dengan Rp 450 juta diberikan kepada Abdul Wahid melalui Arief, dan Rp 800 juta langsung diterima Abdul Wahid.
Total penerimaan mencapai Rp 4,05 miliar dari kesepakatan awal sebesar Rp 7 miliar.
Uang Diduga untuk Kepentingan Pribadi
Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu menyebut dana tersebut digunakan Abdul Wahid untuk keperluan pribadi, termasuk biaya perjalanan ke luar negeri. Wahid diketahui memiliki agenda ke Inggris, Brasil, dan Malaysia.
Lebih lanjut, Asep mengungkap bahwa sejumlah pejabat bawahannya sampai harus meminjam uang ke bank atau bahkan menggadaikan sertifikat tanah demi memenuhi setoran yang diminta. “Ironisnya, saat pemerintah provinsi mengalami defisit anggaran, justru para pejabatnya diminta menyetorkan uang,” ujar Asep.
KPK menegaskan akan terus mengembangkan penyidikan kasus ini untuk menelusuri aliran dana dan pihak-pihak lain yang turut terlibat.
Biar tetap bisa pantau berita terbaru dari KPK pastikan internetmu lancar, jangan lupa ada promo paket data murah dari GaleriPay.
Download GaleriPay sekarang — distributor pulsa termurah dan terlengkap, kuota, dan voucher digital dengan harga hemat dan bonus melimpah. GaleriPay, solusi digital pintar untuk semua kebutuhan online kamu.
Sumber: Detik News
Leave a Reply